Mata Kuliah Yang Kamu Sukai?

Selasa, 03 Januari 2012


ASUHAN KEPERAWATAN 
CRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)

1. Definisi Gagal Ginjal Kronis (CRONIC KIDNEY DISEASE)
Gagal ginjal kronik adalah kegagalan fungsi ginjal untuk mempertahankan metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit akibat destruksi struktur ginjal yang progresif dengan manifestasi penumpukan sisa metabolit (toksik uremik) didalam darah.(Muttaqin & Sari, 2011).
Gagal ginjal kronik adalah suatu proses penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya pada suatu derajat memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap berupa dialisis dan transplantasi ginjal (Sudoyo, 2006). Istilah penyakit ginjal tahap akhir atau end stage renal disease sering digunakan oleh pemerintah seperti Health Care Financing Administration (HCFA) dan telah menjadi sinonim gagal ginjal kronis.
Gagal ginjal kronis adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan cukup lanjut (Sidabutar dkk, 2001). Gagal ginjal kronis terjadi ketika ginjal tidak mampu mengangkut sampah metabolik tubuh atau melakukan fungsi regulernya untuk mengekskresi sisa metabolisme dari dalam tubuh sehingga terjadi gangguan fungsi endokrin dan metabolisme, gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, serta asam basa.

2. Stadium Gagal Ginjal Kronis
Klasifikasi gagal ginjal kronis tidak selalu sama. Price & Wilson (2005) membagi perjalan klinis umum gagal ginjal kronis menjadi tiga stadium. Stadium pertama disebut penurunan cadangan ginjal, selama stadium ini kreatinin serum, kadar nitrogen urea darah (BUN) normal, serta gejalanya asimtomatik. Stadium kedua disebut juga insufisiensi ginjal, dimana terdapat lebih dari 75% jaringan ginjal yang berfungsi telah rusak atau glomerular filtration rate (GFR) 25% besarnya dari normal. Pada stadium ini, kadar kreatinin serum juga mulai meningkat melebihi kadar normal serta mulai timbul gejala-gejala nokturia dan poliuria.
Stadium ketiga merupakan stadium akhir gagal ginjal kronis yang sering disebut gagal ginjal terminal atau uremia. Penyakit ginjal stadium akhir terjadi apabila sekitar 90% dari massa nefron telah rusak, atau hanya sekitar 200.000 nefron yang masih utuh. Pada stadium ini penderita mulai merasakan gejala-gejala yang cukup parah, karena ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan homeostatis cairan dan elektrolit dalam tubuh. Pada gagal ginjal tahap akhir urin menjadi isoosmotis, penderita biasanya menjadi oligurik dan terjadi sindrom uremik yang mempengaruhi setiap sistem dalam tubuh.

3.  Etiologi Gagal Ginjal kronis
Gagal ginjal kronis merupakan keadaan klinis kerusakan ginjal yang yang progresif dan ireversibel yang berasal dari berbagai penyebab. Jangka waktu sampai stadium akhir penyakit ginjal tersebut dapat berkisar antara 2-3 bulan hingga 30-40 tahun.
Price & Wilson (2005) mengklasifikasikan penyebab gagal ginjal kronis menjadi delapan kelas yaitu:
1).Penyakit infeksi seperti pielonefritis kronik atau refluks nefropati,
2).Penyakit peradangan seperti glomerulonefritis,
3).Penyakit vaskular hipertensif seperti nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna, dan stenosis arteria renalis,
4).Gangguan jaringan penyambung seperti lupus eritematosus sistemik, poliarteritis nodosa, dan sklerosis sistemik progresif,
5).Gangguan kongenital dan herediter seperti penyakit ginjal polikistik dan asidosis tubulus ginjal,
6).Penyakit metabolik seperti diabetes mellitus, gout, hiperparatiroidisme, dan amiloidosis,
7).Nefropati toksik akibat penyalahgunaan analgesik dan nefropati timbal,
8).Nefropati obstruktif pada traktus urinarius bagian atas seperti batu ginjal, neoplasma, fibrosis retroperitoneal dan nefropati obstruktif pada traktus urinarius bagian bawah seperti hipertrofiprostat, anomali kongenital leher vesika urinaria dan uretra.


4.  Manifestasi Klinis Gagal Ginjal Kronis
Adapun manifestasi klinis GGK menurut Mansyur, dkk (1999), yaitu: 
1). Umum, seperti: fatig, malaise, gagal tumbuh, debil,
2). Kulit seperti pucat, mudah lecet, rapuh, leukonikia,
3). Kepala dan leher seperti fetor uremik, lidah kering, dan berselaput,
4). Mata seperti fundus hipertensif, mata merah,
5). Kardiovaskuler seperti hipertensi, kelebihan cairan, gagal jantung, perikarditis uremik, penyakit vaskuler,
6). Pernapasan seperti hiperventilasi asidosis, edema paru, efusi pleura,
7) gastrointestinal seperti anoreksia, nausea, gastritis, ulkus peptikum, kolitis uremik, diare yang disebabkan oleh antibiotik,
8). Kemih seperti Nokturia, poliuria, haus, proteinuria, penyakit ginjal yang mendasarinya;
9). Reproduksi seperti Penurunan libido, impotensi, amenore, infertilitas, ginekomastia, galaktore,
10). Saraf seperti letargi, malaise, anoreksia, tremor, mengantuk, kebingungan, flap, mioklonus, kejang, dan koma,
11). Tulang seperti Hiperparatiroidisme, defisiensi vitamin D,
12). Sendi seperti Gout, pseudogout, kalsifikasi ekstra tulang,
13). Hematologi seperti anemia, defisiensi imun, mudah mengalami perdarahan,
14). Endokrin seperti Multipel,
15). Farmakologi seperti obat-obat yang diekskresi oleh ginjal.

5.  Terapi Pada Pasien Gagal Ginjal Kronis
Menurunnya fungsi ginjal dan semakin buruknya gejala uremia pada gagal ginjal kronis tahap akhir mengharuskan diberikannya pengobatan kepada penderita. Wilson (2005) menyatakan bahwa pengobatan gagal ginjal kronis dibagi dalam dua tahapan, dimana tahap pertama merupakan tindakan konservatif yang ditujukan untuk meredakan atau memperlambat perburukan progresif fungsi ginjal dan tahap kedua yaitu tindakan untuk mempertahankan kehidupan dengan dialisis dan transplantasi ginjal. Prinsip-prinsip penatalaksanaan konservatif didasarkan pada batas ekskresi yang dapat dicapai ginjal yang terganggu. Tindakan konservatif berupa diet, pembatasan cairan, dan konsumsi obat-obatan (Suhardjono, 2001; Potter & Perry, 2005; Wilson, 2005).
Pada gagal ginjal kronis tahap akhir dibutuhkan tindakan yang bisa mengganti fungsi ginjal untuk mempertahankan kehidupan karena tindakan konservatif saja tidak efektif. Penggantian fungsi ginjal bisa dengan transplantasi dan dialisa. Transplantasi ginjal merupakan tindakan yang lebih baik karena penderita tidak terlalu terbatas hidupnya dan biasanya tidak ada pantangan diet serta tidak membutuhkan banyak waktu untuk melakukan dialisis (Potter & Perry, 2005; Wilson, 2005). Namun di Indonesia transplantasi ginjal masih terbatas karena banyak kendala yang dihadapi seperti faktor ketersediaan donor ginjal, biaya, dan sistem kesehatan yang belum mendukung (Yayasan Ginjal Nasional, 2000) sehingga dialisa bagi penderita gagal ginjal kronis tahap akhir merupakan satu-satunya cara untuk bertahan hidup.
Ada dua metode dialisis yaitu dialisa peritoneal dan hemodialisa. Diantara kedua metode dialisa tersebut yang merupakan metode paling umum digunakan untuk penderita gagal ginjal di Indonesia dan Amerika adalah hemodialisa (Kartono, Darmarini & Roza, 1992 dalam Lubis, 2006; Peterson,1995).

6.  Proses Keperawatan
6.1. Pengkajian
Fokus pengkajian Menurut Doengoes (2000), fokus pengkajian pada pasien gagal ginjal kronik antara lain :
1)   Aktivitas / istirahat
Gejala : Kelelahan ekstremitas, kelemahan, malaise, gangguan tidur.
Tanda : Kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentang gerak.
2)   Sirkulasi
Gejala : Riwayat hipertensi lama atau berat, nyeri dada.
Tanda : Hipertensi, nadi kuat, edema jaringan umum dan pitting pada kaki, nadi lemah halus, pucat, kuning, kecenderungan perdarahan
3)   Eliminasi
Gejala : Penurunan frekuensi urine, oliguri, anuri, diare, konstipasi.
Tanda : Perubahan warna urine (kuning pekat, merah, coklat) digouria menjadi anuri.
4)   Integritas ego
Gejala : Faktor stress, perasaan tidak berdaya, tak ada kekuatan.
Tanda : Menolak, ansietas, takut, marah, mudah tersinggung.
5)   Makanan / cairan
Gejala : Peningkatan berat badan dengan cepat, penurunan berat badan (mal nutrisi), anoreksia, mual muntah, nyeri ulu hati.
Tanda : Asites, perubahan turgor kulit.
6)   Neurosensori
Gejala : Sakit kepala, penglihatan kabur, kejang, kesemutan dan kelemahan.
Tanda : Ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilanan memori, rambut tipis, kuku rapuh dan tipis.
7)   Nyeri dan kenyamanan
Gejala : Nyeri panggul, sakit kepala, nyeri dada.
Tanda : Perilaku berhati-hati, gelisah.
8)   Pernafasan
Gejala : Napas pendek, batuk dengan atau tanpa sputum
Tanda : Dispnea, peningkatan frekuensi, batuk
9)   Keamanan
Gejala : Kulit gatal
Tanda : Pruritus, demam, fraktur tulang.
10)    Seksualitas
Gejala : Penurunan libido aminorea, infertilitas.
11)    Interaksi sosial
Gejala : Kesulitan menentukan kondisi.
6.2. Diagnosa Keperawatan
Menurut Doenges, 1999 dan Lynda Juall, 2000 (dalam Subianto, 2009) diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien GGK adalah:
1)      Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang meningkat.
2)      Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan udem sekunder: volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O.
3)      Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual, muntah.
4)      Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder, kompensasi melalui alkalosis respiratorik.
5)      Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan suplai O2 ke jaringan menurun.
6)      Intoleransi aktivitas berhubungan dengan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat, keletihan.
6.3. Intervensi
1)   Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang meningkat
Tujuan: Penurunan curah jantung tidak terjadi dengan kriteria hasil : mempertahankan curah jantung dengan bukti tekanan darah dan frekuensi jantung dalam batas normal, nadi perifer kuat dan sama dengan waktu pengisian kapiler
Intervensi:
a)    Auskultasi bunyi jantung dan paru
Rasional (R) : Adanya takikardia frekuensi jantung tidak teratur
b)   Kaji adanya hipertensi
R: Hipertensi dapat terjadi karena gangguan pada sistem aldosteron-renin angiotensin (disebabkan oleh disfungsi ginjal)
c)    Selidiki keluhan nyeri dada, perhatikanlokasi, rediasi, beratnya (skala 0-10)
R: HT dan GGK dapat menyebabkan nyeri
d)   Kaji tingkat aktivitas, respon terhadap aktivitas
R: Kelelahan dapat menyertai GGK juga anemia
2)   Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan edema sekunder : volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O.
Tujuan: Mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan dengan kriteria hasil: tidak ada edema, keseimbangan antara input dan output
Intervensi:
a)    Kaji status cairan dengan menimbang BB perhari, keseimbangan masukan dan haluaran, turgor kulit tanda-tanda vital
b)   Batasi masukan cairan
R: Pembatasan cairan akn menentukan BB ideal, haluaran urin, dan respon terhadap terapi
c)    Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan
R: Pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga dalam pembatasan cairan
d)   Anjurkan pasien / ajari pasien untuk mencatat penggunaan cairan terutama pemasukan dan haluaran
R: Untuk mengetahui keseimbangan input dan output
3)   Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia, mual, muntah
Tujuan: Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat dengan kriteria hasil: menunjukan BB stabil
Intervensi:
a)    Awasi konsumsi makanan / cairan
R: Mengidentifikasi kekurangan nutrisi
b)   Perhatikan adanya mual dan muntah
R: Gejala yang menyertai akumulasi toksin endogen yang dapat mengubah atau menurunkan pemasukan dan memerlukan intervensi
c)    Beikan makanan sedikit tapi sering
R: Porsi lebih kecil dapat meningkatkan masukan makanan
d)   Tingkatkan kunjungan oleh orang terdekat selama makan
R: Memberikan pengalihan dan meningkatkan aspek sosial
e)    Berikan perawatan mulut sering
R: Menurunkan ketidaknyamanan stomatitis oral dan rasa tak disukai dalam mulut yang dapat mempengaruhi masukan makanan
4)   Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder: kompensasi melalui alkalosis respiratorik
Tujuan: Pola nafas kembali normal / stabil
Intervensi:
a)    Auskultasi bunyi nafas, catat adanya crakles
R: Menyatakan adanya pengumpulan sekret
b)   Ajarkan pasien batuk efektif dan nafas dalam
R: Membersihkan jalan nafas dan memudahkan aliran O2
c)    Atur posisi senyaman mungkin
R: Mencegah terjadinya sesak nafas
d)   Batasi untuk beraktivitas
R: Mengurangi beban kerja dan mencegah terjadinya sesak atau hipoksia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar